Ilmu kalam (ilmu filsafat) adalah ilmu yang sangat dibenci oleh para ulama, bahkan sebagian ulama menulis buku khusus tentang pencelaan terhadap ilmu ini. Seperti kitab ذَمُّ الْكَلاَمِ وَأَهْلِهِ (Pencelaan terhadap ilmu kalaam dan pemiliknya) karya Syaikhul Islam Abu Isma’il Al-Harowi rahimahullah (wafat 481 H).
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata
قل من أمعن النظر في علم الكلام إلا وأداه اجتهاده إلى القول بما يخالف محض السنة، ولهذا ذم علماء السلف النظر في علم الاوائل، فإن علم الكلام مولد من علم الحكماء الدهرية، فمن رام الجمع بين علم الانبياء عليهم السلام وبين علم الفلاسفة بذكائه لابد وأن يخالف هؤلاء وهؤلاء
“Hampir tidak ada orang-orang yang memperdalam ilmu filsafat kecuali ijtihadnya akan mengantarkannya kepada pendapat yang menyelisihi kemurnian sunnah. Karenanya para ulama salaf mencela mempelajari ilmu orang-orang kuno (seperti orang-orang Yunani-pen) karena ilmu filsafat lahir dari para filosof yang berpemikiran dahriyah (atheis). Barang siapa yang dengan kecerdasannya berkeinginan untuk mengkompromikan antara ilmu para Nabi dengan ilmu para filosof, maka pasti ia akan menyelishi para Nabi dan juga menyelisihi para filosof” (Mizaanul I’tidaal 3/144)
Ibnu Abdil Barr berkata :
أجمع أهل الفقه والآثار من جميع الأمصار أن أهل الكلام أهل بدع وزيغ، ولا يعدون عند الجميع في جميع الأمصار في طبقات العلماء، وإنما العلماء أهل الأثر والتفقه فيه
“Telah ijmak para ahli fikih dan hadits dari seluruh negeri bahwasanya ahlul kalam adalah ahlu bid’ah dan ahlu kesesatan, dan mereka seluruhnya tidak dianggap dalam jejeran para ulama. Para ulama hanyalah para ahli hadits dan fikih” (Jaami’ Bayaan al-‘Ilmi wa Fadlihi 2/195)
Ilmu filsafat diambil dari para tokoh Yunani seperti Aristoteles dan yang lainnya, yang notabene mereka adalah orang-orang yang tidak beragama. Mereka tidak dibimbing oleh wahyu. Jika pembicaraan para tokoh Yunani tersebut berkaitan dengan fisika dan kimia (materi yang ditangkap oleh panca indra) maka permasalahannya mudah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan besar tatkala mereka membicarakan tentang ilmu ghoib apalagi yang berkaitan dengan Tuhan !!!. Tentunya merupakan kesalahan yang sangat fatal adalah menganalogikan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang nyata dilihat !!!.
Orang-orang yang berbicara tentang agama dengan berlandaskan ilmu kalam (filsafat) telah terjerumus dalam dua kesalahan besar :
Pertama : Menjadikan akal lebih didahulukan dari pada nash-nash wahyu
Kedua : Menjadikan akalnya para tokoh Yunani sebagai barometer kebenaran !!!
Kerasnya celaan para ulama terhadap ilmu kalam tidak lain karena akibat yang sangat buruk dari mempelajari ilmu tersebut. Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini yang dialami oleh para pengikut paham liberal, yang mereka sangat merendahkan al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
لاَ يُفْلِحُ صَاحِبُ كَلاَمٍ أَبَدًا عُلَمَاءُ الْكَلاَمِ زَنَادِقَةُ
“Pemilik ilmu filsafat tidak akan beruntung selamanya. Para ulama filsafat adalah para zindiq” (Talbiis Ibliis 1/75).
Sungguh benar perkataan Al-Imam Ahmad ini, semakin seseorang memperdalam ilmu filsafat dan mengamalkannya maka akan semakin zindiq. Bukti nyata para pakar filsafat dari kaum liberal !!!
Sikap Keras Al-Imam Asy-Syafi’i Terhadap Ilmu Filsafat
Al-Imam Al-Baihaqi dalam Manaqibnya membawakan sebuah bab :
باب : ما جاء عن الشافعي رحمه الله في مجانبة أهل الأهواء وبغضه إياهم وذمه كلامهم وإزرائه بهم ودقه عليهم ومناظرته إياهم
“Bab tentang hal-hal yang diriwayatkan dari Asy-Syafi’i rahimahullah tentang sikap beliau dalam menjauhi ahlul ahwaa’ dan kebencian beliau kepada mereka, celaan beliau terhadap perkataan mereka, perendahan/penghinaan beliau kepada mereka, kerasnya beliau terhadap mereka, dan perdebatan beliau dengan mereka” (Manaaqib Asy-Syaafi’i li Al-Baihaqi 1/452)
Lalu Al-Imam Al-Baihaqi membawakan banyak riwayat yang menunjukan sikap keras Al-Asy-Syafi’i terhadap bid’ah dan pelakunya, diantaranya :
Ar-Robii’ berkata, “Aku melihat Asy-Syafi’i turun dari tangga sementara sebagian orang di majelis sedang berbicara tentang sedikit ilmu filsafat, maka Asy-Syafi’i pun berteriak seraya berkata : “Hendaknya mereka berdekatan dengan kita dengan kebaikan atau hendaknya mereka pergi meninggalkan kita” (Manaaqib Asy-Syaafi’i 1/459)
“Hukumanku bagi para ahli filsafat agar mereka dipukul dengan pelepah kurma lalu di diangkut di atas unta lalu di arak (dikelilingkan) di kampung-kampung dan kabilah-kabilah, lalu diserukan atas mereka : “Inilah balasan orang yang meninggalkan al-Qur’an dan Hadits lalu menuju ilmu filsafat” (Manaaqib Asy-Syaafi’i 1/462)
Al-Imam Asy-Syaafi’i juga berkata :
“Tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada ilmu filsafat dan ahli filsafat” (Taariikh Al-Islaam li Adz-Dzahabi 14/332)
Yang sangat menyedihkan adalah mulai banyak pemuda yang mengaku bermadzhab Syafi’i yang tertarik dengan ilmu filsafat, sehingga akhirnya terjebaklah mereka dalam pemahaman liberal !!!
Sikap keras para ulama terhadap ilmu filsafat memang sangat beralasan, mengingat ilmu filsafat inilah yang menimbulkan banyak malapetaka dan bid’ah dalam aqidah.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah digelari dengan “نَاصِرُ السُّنَّة” (Penolong sunnah/hadits) tatkala beliau di Baghdad karena saat itu di Baghdad berkembang madzhab Jahmiyah dan Mu’tazilah. Yang tentunya mereka telah menolak hadits-hadits Nabi atau mentakwil hadits-hadits tersebut dengan akal mereka yang telah teracuni dengan ilmu filsafat.
Diantara tokoh Mu’tazilah di Baghdad tatkala itu adalah Bisyr Al-Mirrisy. Abu Bakar Al-Junaid berkata, “Bisyr Al-Mirrisy berhaji lalu kembali (ke Baghdad), lalu ia berkata kepada para sahabatnya :
رَأَيْتُ شَابًّا مِنْ قُرَيْشٍ بِمَكَّةَ مَا أَخَافُ عَلَى مَذْهَبِنَا إِلاَّ مِنْهُ
“Aku melihat seorang pemuda dari Quraisy di Mekah, aku tidak mengkhawatirkan madzhab kita kecuali dari pemuda tersebut”
Maksudnya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i” (Taariikh Baghdaad 2/65)
ALQUR’AN KALAMULLAH BUKAN MAKHLUK
(ASYA’IROH=MU’TAZILAH=LIBERAL)
Diantara bid’ah-bid’ah yang muncul akibat mempelajari ilmu filasafat adalah bid’ah yang merupakan kekufuran, yaitu meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat keras mengingkari hal ini, bahkan barang siapa yang berkeyakinan demikian dan telah ditegakan hujjah atasnya namun dia masih tetap bersikeras mempertahakan aqidah kufur ini, maka orang tersebut dipandang kafir oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Ibnul Jaaruud berkata :
“Hafs Al-Fard masuk menemui Asy-Syafi’i, lalu iapun berbicara (berdebat) dengan Asy-Syafi’i. Lalu Asy-Syafi’i keluar menemui kami dan berkata, “Seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dosa-dosa sebesar pegunungah Tihaamah lebih baik baginya daripada ia bertemu dengan Allah dengan meyakini satu hurufpun yang diyakini oleh lelaki ini (Hafs Al-Fard) dan para sahabatnya”.
Hafs Al-Fard berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk” (Manaaqib Asy-Syafi’i 1/454)
Dalam riwayat yang lain dari Yunus bin Abdil A’la, bahwasanya Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Aku telah mendapati dari perkataan para ahli filasafat perkara yang demi Allah tidak pernah aku duga sebelumnya. Seseorang melakukan seluruh perkara yang dilarang oleh Allah -selain kesyirikan kepada Allah- lebih baik baginya daripada ia diberi musibah oleh Allah dengan ilmu filsafat” (Manaaqib Asy-Syaafi’i 453-454)
Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan setelah Al-Imam Asy-Syafi’i lama berdebat dengan Hafs Al-Fard yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk maka perdebatan tersebut berakhir dengan sikap Asy-Syafi’i yang mengkafirkan Hafs Al-Fard (lihat Manaaqib Asy-Syafi’i 1/454 – 456)
Demikian juga Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitabnya Al-Asmaa’ wa Ash-Shifaat :
Ar-Robii’ berkata : “Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu berbicara (berdebat) dengan Hafsh Al-Fard maka Hafsh berkata, “Al-Qur’an makhluq”, maka Asy-Syafi’i berkata kepadanya, “Engkau telah kafir kepada Allah yang Maha Agung” (Al-Asmaa’ wa Ash-Shifaat tahqiq Al-Kautasri hal 244)
Bid’ah kholqul Qur’an (al-qur’an adalah makhluk) pada dasarnya adalah bid’ah yang disohorkan dan dicetuskan oleh Mu’tazilah. Akan tetapi bid’ah ini ternyata juga diadopsi oleh kaum Asya’iroh. Karena orang-orang Asyaa’iroh meskipun mereka menyatakan bahwa Allah memiliki sifat kalaam (berbicara) akan tetapi menurut mereka bahwa Allah berbicara tanpa huruf dan tanpa suara serta tidak terbagi-bagi akan tetapi merupakan satu kesatuan. Sehingga mereka menamakan firman Allah dengan “Kalaam Nafsi”. Adapun Al-Qur’an yang kita baca adalah ibarat/ungkapan/hikayat dari firman Allah, dan bukan ibarat dan bahasa Allah, karena menurut mereka Allah tidak berbicara tanpa huruf dan tanpa suara. Dengan demikian maka kaum Asya’iroh telah mengadopsi aqidah Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah Makhluk.
Pernyataan Imam-Imam Aysa’iroh bahwa Al-Qur’an Makhluk
(1) Al-Juwaini berkata :
“Ketahuilah setelah ini…bahwasanya pembicaraan bersama Mu’tazilah dan para penyelisih yang lainnya dalam permasalahan ini berkaitan dengan penafian dan penetapan. Karena sesungguhnya apa yang mereka tetapkan dan mereka anggap sebagai kalaam (sifat berbicara Allah) maka sifat tersebut secara dzatnya ada….
Sesungguhnya maka perkataan mereka (Mu’tazilah) : “Ibarat-ibarat ini (lafal-lafal Al-Qur’an-pen) adalah firman Allah” yaitu adalah makhluk Allah. Dan kami (Asyaa’iroh-pen) tidaklah mengingkari bahwasanya ibarat-ibarat tersebut adalah makhluk Allah, akan tetapi kami tidak mau menamakan Pencipta Al-Kalam berbicara dengan kalam tersebut. Maka kita telah sepakat dalam makna dan kita berselisih –setelah kesepakatan kita- dalam hal penamaan” (Al-Irsyaad Ilaa Qowaathi’il Adillah fi Ushuul Al-I’tiqood 116-117)
(2) Asy-Syahristani berkata
“Kalau seandainya musuh-musuh kami (yaitu Mu’tazilah-pen) sepakat dengan kami tentang bahwasanya al-kalaam (perkataan) yang nampak adalah makna di Dzat selain ibarat-ibarat yang diungkapkan lisan, dan bahwasanya al-kalam (perkataan) yang ada di alam ghaib tegak di Dzat Allah selain ibarat-ibarat yang kita baca dengan lisan kita dan yang kita tulis di mushaf-mushaf, maka tentunya mereka akan bersepakat dengan kita pada kesatuan makna.
Akan tetapi al-kalam adalah lafal yang musytarok (mengandung makna berbilang-pen) dan tidak datang pada satu makna saja, maka apa yang ditetapkan oleh musuh (Mu’tazilah) (yaitu Al-Qur’an-pen) sebagai sifat kalam maka Asya’iroh juga menetapkannya dan sepakat bahwasanya kalam tersebut banyak dan muhdats (baru) serta makhluk.
Dan apa yang ditetapkan oleh Asya’iroh sebagai kalam (sifat kalam nafsi-pen) maka musuh (Mu’tazilah) mengingkarinya” (Nihaayatul Iqdaam 289)
(3) Al-Baajuri berkata
“Dan madzhab Ahlus Sunnah bahwasanya Al-Qur’an Al-Kariim –maksudnya yaitu kalam nafsi- bukanlah makhluq. Adapun al-Qur’an –yaitu lafal yang kita baca- maka adalah makhluk. Akan tetapi tidak boleh dikatakan bahwasanya al-Qur’an makhluk dan dimaksudkan adalah lafal yang kita baca kecuali dalam pengajaran. Karena bisa jadi bisa disangka bahwasanya al-Qur’an –yaitu kalam nafsi- adalah makhluk” (Syarh Jauharat At-Tauhiid 173)
(4) Al-Buuthy berkata :
“Adapun mayoritas kaum mulsimin Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah (yaitu Asya’iroh-pen) maka mereka berkata : Kami tidak mengingkari apa yang dikatakan oleh Mu’tazilah, bahkan kamipun sependapat, dan kami menamakannya dengan kalam secara lafal. Dan kami semua sepakat bahwa kalam lafal tersebut (yaitu al-Qur’an-pen) adalah sesuatu yang baru, dan ia tidak berdiri di Dzat Allah karena ia adalah hadits (baru). Akan tetapi kami menetapkan suatu perkara dibalik ini semua, yaitu kalam adalah sifat yang berdiri di Dzat Allah yang diungkapkan dengan lafal-lafal” (Kubro Al-Yaqiniyaat Al-Kauniyah 125)
SANGGAHAN
Kaum Asya’iroh (yang banyak diantara mereka mengaku bermadzhab Syafi’iyyah) ternyata telah melanggar ajaran Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Sangat jelas dari Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau berkata الْقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ “Al-Qur’an kalamullah (firman Allah) bukan makhluq” (lihat Al-Asmaa’ wa As-Shifaat li Al-Baihqi tahqiq ; Al-Kautsari hal 244).
Dan sangat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Al-Qur’an adalah firman Allah yang tertulis di lembaran-lembaran mushaf yang kita baca. Itulah keyakinan mayoritas kaum muslimin di dunia ini. Berbeda kelakar bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Asya’iroh yang memelintir perkataan para ulama salaf (diantaranya Imam Syafi’i) bahwa “Al-Qur’an firman Allah bukan makhluk” dipelintiri maknanya menjadi Al-Qur’an kalam nafsi, bukan al-Qur’an yang tertulis di lembaran-lembaran mushaf. Hal ini –sebagaimana telah lalu- karena kaum Asya’iroh meyakini bahwa firman Allah adalah kalam nafsi (yaitu sifat bicara yang kembali kepada dzat Allah), satu kesatuan, tidak mungkin terdengar, dan tidak mungkin tersusun dari huruf-huruf. Ini jelas merupakan pemelintiran terhadap perkataan para ulama salaf.
Perhatikan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i berikut ini
“Dari Ibnu Sahl Ar-Romli berkata, “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang al-Qur’an, maka Asy-Syafi’i berkata, “Firman Allah yang Diturunkan bukan makhluk”. Aku berkata, “Lantas barang siapa yang berkata al-Qur’an adalah makhluk maka bagaimana hukumnya di sisimu?”. Beliau berkata kepadaku : “Kafir“. Dan Asy-Syafi’i berkata, “Tidaklah aku bertemu dengan seorangpun dari guru-guruku kecuali berkata, “Barang siapa yang menyatakan bahwa Al-Qur’an makhluk maka dia telah kafir” (Al-Asmaa’ wa As-Shifaat li Al-Baihaqi, tahqiq : Al-Kautsary hal 244)
Pernyataan Asy-Syafi’i tentang al-Qur’an “Firman Allah Yang Diturunkan…” ini tentu tidak bisa dipelintiri lagi oleh kaum Asya’iroh dengan kalam nafsi !!!
Adapun dalil bahwa firman Allah dengan suara yang terdengar dan terangkai dari kata dan huruf, maka sangatlah banyak. Diantaranya :
Firman Allah
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا (١٦٤)
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (QS An-Nisaa : 164)
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي (١٤٣)
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. (QS Al-A’raf : 143)
Lihatlah sangatlah jelas bahwa Allah berbicara dengan Nabi Musa yang didengar oleh Nabi busa dan bahkan terjadi timbal balik pembicaraan antara Musa dengan Allah.
Bahkan dalam ayat yang lain menjelaskan bahwa suara Allah yang didengar oleh Musa dengan seruan.
وَإِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (١٠)
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): “Datangilah kaum yang zalim itu” (Asy-Syu’aroo : 10)
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى (١٣)إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (١٤)
“Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku” (QS Toohaa : 13-14)
Ini menunjukkan bahwa Musa mendengar langsung firman/kalam Allah. Kalau beliau hanya mendapatkan wahyu hanya melaui ilham maka Allah tidak akan mengatakan “Dengarlah“, dan tidak akan ada bedanya antara Musa dengan nabi-nabi yang lain, padahal Nabi Musa dijuluki dengan Kaliimullah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَقُوْلُ اللهُ يَا آدَمُ فَيَقُوْلُ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ فَيُنَادِي بِصَوْتٍ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكَ أَن تُخْرِجَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ بَعْثًا إِلَى النَّارِ
“Allah berkata, “Wahai Adam”, maka Adam berkata, “Aku penuhi panggilanMu”. Maka Allah menyeru dengan suara : “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk mengeluarkan dari keturunanmu orang-orang yang akan masuk neraka” (HR Al-Bukhari no 7483)
Jika Allah berbicara tanpa suara maka Adam tidak akan menjawab لَبَّيْكَ “Aku penuhi panggilanMu”
Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa mayoritas riwayat dengan mengkasroh huruf dal (فينادِي), yaitu maknanya : “Allah menyeru dengan suara”
Rasulullah juga bersabda :
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ قَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ أَنَا الْمَلِكُ
“Manusia atau para hamba dikumpulkan pada hari kiamat dalam kondisi telanjang, belum disunat dan dalam keadaan tidak membawa sesuatu apapun. Lalu Allah menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh orang yang jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat : “Akulah Penguasa…” (HR Ahmad 16042, Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrod no 970)
Dan terlalu banyak dalil dari hadits di mana Allah akan berbicara dengan manusia di hari persidangan kelak.
Al-Imam Al-Bukhari berkata :
“Dan sesungguhnya Allah menyeru dengan suara yang didengar orang orang yang jauh sama sebagaimana didengar oleh orang yang dekat. Dan seperti ini tidak bisa untuk selain Allah. Dan ini adalah dalil bahwasanya suara Allah tidak seperti suara-suara makhluk. Karena suara Allah didengar oleh orang yang jauh sebagaimana pendengaran orang yang dekat. Jika para malaikat mendengar suara Allah maka mereka pingsan, dan jika para malaikat –diantara mereka- saling memanggil maka mereka tidak pingsan. Dan Allah telah berfirman
فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“Karena itu janganlah kamu Mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” (QS Al-Baqoroh : 22)
Maka tidak ada tandingan bagi sifat Allah, dan juga tidak ada yang menyamai, dan tidak ada satu sifat Allah pun yang ada pada para makhluk” (Kholqu Af’aalil ‘Ibaad 91-92).
Al-Imam Al-Bukhari mengisyaratkan kepada sebuah hadits di mana para malaikat pingsan tatkala mendengar suara Allah.
إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَ {فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوْا} لِلَّذِي قَالَ {الْحَقَّ وَهُوَ السَّمِيعُ الكَبِير}
“Jika Allah menetapkan keputusan di langit maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, seakan-akan rantai yang di atas batu yang licin. Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka (para malaikat), mereka berkata “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?” mereka menjawab: (perkataan) yang benar”, dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (HR Al-Bukhari no 4800)
Perkataan Al-Imam Al-Bukhari ini juga sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar. Beliau berkata :
“Adapun suara maka barang siapa yang melarang (sifat suara bagi Allah) beralasan bahwa suara adalah aliran nafas yang terhenti yang terdengar dan keluar dari kerongkongan. Maka oarng yang menetapkan sifat suara menjawab dengan dalih bahwasanya suara yang sifatnya demikian adalah suara yang dikenal dari para manusia. Sebagaimana pendengaran dan penglihatan. Dan sifat-sifat Ar-Robb berbeda dengan itu semua dan tidaklah melazimkan adanya perkara yang disebutkan yang dilarang tersebut jika disertai keyakinan tanzih (pensucian sifat Allah dari kekurangan-pen) dan tidak adanya tasybih (menyamakan dengan makhluk-pen). Dan suara bisa keluar tanpa kerongkongan.
Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam kitabnya “As-Sunnah” berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang suatu kaum yang mereka berkata bahwasanya tatkala Allah berbicara dengan Musa, Allah berbicara dengannya tanpa suara. Maka ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) berkata kepadaku, “Justru Allah berbicara dengan suara. Hadits-hadits ini diriwayatkan sebagaimana datang” (Fathul Baari 13/460)
Kaum Liberal Mengadopsi Aqidah Asya’iroh
Adapun kaum liberal dari JIL maka mereka meyakini apa yang diyakini oleh kaum Asya’iroh, bahwasanya apa yang tertera dalam al-Qur’an bukanlah firman Allah, akan tetapi ibarat/ungkapan dari firman Allah.
Dalam buku “Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian Hermeneutika” yang dikarang oleh DR Komarudin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan diberi pengantar oleh DR Nurkholis Majid (pendiri Universitas Para Madinah), disebutkan :
“Bisa juga kita menduga kemungkinan yang lain bahwa apa yang disebut kitab suci, seperti Al-Qur’an, sesungguhnya bukan kalam Tuhan in toto verbatim. Kitab tersebut sudah merupakan “produk bersama” yang di dalamnya terdapat gagasan Tuhan yang kemudian dipahami dan diterjemahkan oleh Muhammad ke dalam lisan Arab” (hal 163)
“Keterlibatan Muhammad dalam penafsiran Al-Qur’an berlangsung dalam dua level. Pertama, proses pengungkapannya dalam bahasa Arab; kedua, penafsiran atas Al-Qur’an yang kemudian disebut hadits” (hal 81)
“Karena gaya penuturannya yang bersifat sangat manusiawi, sangat masuk akal bahwa klaim Al-Qur’an baik lafal maupun isi adalah firman Tuhan kemudian melahirkan perdebatan filosofis. Bagaimana akal harus menerima bahwa Al-Qur’an firman Tuhan, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab yang bersifat cultural dan ungkapan-ungkapannya pun sangat manusiawi?. Bukankah Tuhan bersifat nonmaterial dan absolute, sementara Al-Qur’an adalah himpunan informasi dan pesan-pesan Ilahi yang tersimpan dalam bahasa manusia yang kemudian terabadikan dalam teks?” (hal 70)
“Apakah berbagai hukum yang selama ini dianggap sakral dan merupakan perintah Tuhan benar-benar isi dan formatnya juga merupakan kehendak Tuhan? Atau apakah semua itu lebih merupakan gubahan dan terjemahan Nabi Muhammad atas wahyu dalam konteks ruang dan waktu tertentu yang sewaktu-waktu bisa diubah?” (hal 270)
Apa yang diungkapkan oleh DR Komarudin Hidayat tersebut sangat menunjukkan kesamaan beraqidah antara kaum Liberal dan kaum Asya’iroh tentang al-Qur’an adalah “produk manusia/makhluk”.
Tentunya adanya kesamaan tersebut sangatlah tidak mengherankan, karena kedua kaum tersebut (Liberal dan Asya’iroh) sama-sama mengambil kerangka aqidah mereka dari sumber yang sama, yaitu dari ahli filsafat Yunani.
Aqidah tekstual Al-Qur’an merupakan produk manusia akhirnya mengantarkan kaum Liberal kepada metode penafsiran sesat yang mereka namakan “Hermeneutika”, yang intinya adalah kebebasan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena toh ayat-ayat tersebut bukanlah bahasa Allah, akan tetapi bahasa Muhammad yang hendak mengungkapkan gagasan Allah.
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 01-11-1434 H / 07 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com